Phurpa | Trowo Phurnag Ceremony
0
comments
-rAy-
-
Terdiam sepi di batas ambang keheningan tengah malam dimana suasana tenang menyelimuti diri yang sedang duduk
sendiri sambil membakar kemenyan. Tak lama asap kemenyan semerbak memenuhi di sekitar diri dengan bau-bauan yang menusuk hidung dan sementara mulut berkomat-kamit memanggil mahluk dari alam lain untuk datang dan menemani diri. Tak lama kemudian mahluk gaib berwujud tak mengenakan mata dan telinga itu datang dan menyapa, terlihat wajah buruk rupa yang sedang bersenandung siap untuk menyantap sesajen yang sudah disiapkan sebelumnya.
Sementara sang mahluk sedang menyantap sesajen, tiupan dari suling dan simbal menghalau sang mahluk untuk tidak marah dan murka. Bunyi bel dan gong juga membuatnya tenang. Setelah itu sang mahluk berbicara kepada penulis tentang apa yang menjadi kemauan penulis karena sudah memanggil mereka dari alamnya. Sambil terus terdiam dan berbicara melalui mata batin, penulis mendengar perkataan mereka dengan suara yang membuat bulu kuduk merinding.
Phurpa, sang monster telah berbicara dengan suara yang menusuk telinga. Segala keinginan dan kemauan telah disampaikan dengan sempurna lalu meninggalkan penulis setelah ritual selesai. Namun sebelum kesemuanya selesai, ada 7 tingkatan yang harus dilalui untuk mendapat pencerahan lewat seremoni ritual yang dinamakan Trowo Phurnag Ceremony.
Yang pertama adalah Fundamental Mantra Of Bon yang menjadi tahap awal pengenalan mantra dan tata cara. Kedua adalah Introduction yang dimana menjadi satu bentuk permulaan sebelum proses transformasi dengan sang monster terjadi. Ketiga adalah The Visualization yang menjadi bentuk penampakan sang monster agar penulis bisa berkomunikasi dengan baik. Keempat adalah Conferring Empowerment And Self-Transformation dimana terjadi proses transformasi dengan sang mahluk. Ritual sepanjang 30 menit ini wajib dilakukan agar mencapai titik sempurna. Kelima adalah Emanating The Retinue Of The Deity yang melanjutkan proses transformasi. Keenam adalah The Charge To Action yang menjadi saat untuk melakukan aksi setelah penyatuan telah sempurna. Dan yang terakhir di tingkatan ketujuh adalah Puja Offering And Praises dimana segala pemujaan dan pemujaan berakhir.
Setelah semua itu berakhir beserta dengan redupnya api dari bakaran kemenyan serta asap yang telah menghilang serta bebauannya. Penulis menjadi terdiam sepi kembali di ambang batas keheningan tengah malam.
Phurpa sang monster sebenarnya adalah metamorfosis dari ritual keagamaan Bon dari Tibet yang dicoba dilakukan kembali oleh Alexey Tegina dan Purba dari Russia. Bon identik dengan animisme dan okultisme pada awalnya, lalu masuk namun berbeda dengan agama Budha di Tibet. Ambient dan Dark Ambient Phurpa bukan untuk semua orang, siap-siap saja anda akan didatangi sang mahluk yang kemudian merasuki jiwa anda dan membuat anda kerasukan oleh roh berwujud monster yang tidak terlihat oleh mata anda. Tapi dapat anda rasakan keberadaannya di sekitar anda karena anda dapat mendengar suara mereka berbisik di telinga anda.
Primus | Green Naugahyde
This is Rock !
This is Metal !
This is Alternative !
and yes ...
This is WEIRD !! Primus telah kembali dengan gaya bermusik yang cukup dibilang aneh lewat rilisan Green Naugahyde pada bulan September 2011. Sebuah penantian album yang cukup lama
dengan interval yang cukup lama pula yaitu 12 tahun setelah rilisan Antipop pada tahun 1999. Meski sempat bubar pada tahun 2001 dan kembali lagi pada tahun 2003, Primus tidak pernah merilis album baru sekalipun. Yang tersisa hanyalah sekumpulan EP dan album hits mereka.
Berbicara mengenai Primus, pasti tidak lepas dari sosok living legend nan nyentrik yaitu Les Claypool dengan vokal serta senjata mautnya yaitu instrumen bass. Dedikasi Claypool pada instrumen bass membuat dirinya menjadi salah satu basis terkemuka di dunia, terlebih lagi Claypool juga menggunakan instrumen
musik yang unik seperti The Whamola yang dimainkan dengan cara digesek pada komposisi musiknya. Dan dari situlah keunikan bunyi-bunyian aneh dari Primus diramu dalam sebuah kanvas musik. Dengan formasi Les Claypool di bass dan vokal, Larry LaLonde di gitar dan Jay Lane di drum, band asal California Amerika ini siap membuat anda geleng-geleng kepala lewat rilisan Green Naugahyde.
Untuk para penggemar musik kebanyakan, musik Primus tidak nyaman di telinga karena sungguh terdengar aneh dan absurd, tetapi disitulah Primus bermain hingga menjadi raja di jenis musik seperti itu. Gaya bermain alternative dengan bereksperimental di tune-tune yang aneh dipadu dengan sentuhan funk menjadikan musik Primus memiliki cita rasa yang unik. Terlebih lagi gaya bernyanyi Claypool yang tidak biasa dan
cenderung monolog.
Green Naugahyde dibuka dengan intro berjudul Prelude To A Crawl yang cukup haunting dengan bunyi-bunyian instrumental aneh yang segera dilanjutkan ke Hennepin Crawler. Langsung aja funk monoton disajikan lewat tembang aneh ini yang dipadu dengan monolog Claypool lewat vokalnya yang kemudian menjadi psikedelik
aneh di bagian tengah dengan klimaks yang tidak nyaman. Tak lama setelah itu terdengar suara tremolo gitar di pembuka Last Salmon Man dan dilanjutkan dengan komposisi yang cukup unik dari musik dan lirik. Kemudian dengan ajaib menjelma menjadi salah satu tembang progressive rock yang cukup jenius dan epic.
Keanehan Primus dilanjutkan lewat Eternal Consumption Engine dengan permainan dominan drum dan perkusi. Ditambah lagi dengan vokal aneh Claypool menjadikan tembang aneh ini luar biasa aneh tetapi tidak abstrak yang menjadikannya menarik ketika perpaduan vokal dengan lirik satir menyeruak di akhir lagu. Setelah itu kembali lagi ke funk aneh lewat Tragedy's A' Comin' yang cukup memukau. Lalu ke Eyes Of The Squirrel yang cukup monoton di awal namun menjadi menggila di tengah dan kemudian menjelma menjadi satu kegilaan bunyi sampai akhir.
Jilly's On Smack menjadi salah satu bentuk eksperimental dari Primus dalam menggunakan raungan suara bass lewat instrumen The Whamola yang digesek dengan bow cello. Built up yang ada di bagian pertengahan tembang ini membuat penulis mengalami eargasm meski itu dengan bunyi yang aneh dan tidak nyaman di telinga. Dan keanehan itulah yang menjadikan tembang Jilly's On Smack cukup epic. Dan Lee Van Cleef yang hadir setelahnya cukup menghibur, dengan rock n roll aneh dengan sedikit sentuhan reggae pada tune tune unik membuat tembang ini cukup
bisa membuat anda berdansa rock n roll tapi tetap dengan cara Primus, bukan yang lain.
Moron TV memang benar-benar karya moron dari Primus, entah apa yang ada di dalam pikiran mereka untuk bisa menciptakan tembang yang sebenarnya haunting ini menjadi satu bentukan absurdisme tingkat akut yang membuat penulis tersenyum ketika mendengarkannya. Lalu di Green Ranger yang monoton, tetap saja Primus menghibur penulis dengan musik abstrak mereka.
Setelah itu coba anda bayangkan perpaduan Thrash Metal dengan Funk, rasanya cukup aneh ketika kedua genre musik itu dipadukan. Tetapi Primus mampu memadukannya secara luar biasa lewat HOINFODAMAN yang menjadikannya satu bentukan Thrash-Funk yang cukup menawan. Tak berhenti sampai disitu, Primus langsung menghajar telinga anda lewat Extinction Burst yang melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya dengan permainan progressive yang cukup kuat. Dan sebagai penutup ada Salmon Men yang dibuat sebagai outro dengan mengambil lirik dan lagu Last Salmon Man dengan perpaduan polka pada musiknya.
Absurd dan aneh namun cukup menawan dan jenius. Perbedaan setipis kertas antara idiot dan jenius menjadikan musik Primus adalah musik yang sangat sukar di deskripsikan lewat kata. Perpaduan bunyi yang dilukiskan dalam kanvas musik menjadikannya satu lukisan yang cukup susah dimengerti untuk pendengar awam, tetapi jika sang ahli sudah mahir menilai maka lukisan Vincent Van Gogh yang kekanakan itu bisa menjadi lukisan jenius yang dihargai mahal. Dan disitulah Primus berada dengan segala keunikan musiknya. A great album you've must try!
Jem | Down To Earth
Ketika pertama kali mendengarkan suara vokal dari Jemma Griffiths yang biasa disebut Jem, penulis langsung teringat sama Dido. Karena mereka berdua memiliki karakter vokal yang hampir sama. Namun sangat berbeda mengenai jenis musik mereka. Satu yang bisa disamakan
yaitu musik ala Imogen Heap atau Frou Frou. Dengan perpaduan pop dengan sentuhan trip-hop serta sedikit bumbu funk dan rock menjadikan rilisan Down To Earth memiliki cita rasa tersendiri.
Down To Earth tidak bercerita mengenai satu jenis genre musik tetapi sangat beragam dengan ciri khasnya sendiri. Beberapa nampak biasa, namun ada yang mampu membuat penulis tercengang dengan komposisi yang ditawarkan. Down To Earth yang tidak lain menjadi judul album dan tembang pembuka berbicara tentang trip hop atmosfer yang cukup aneh. Crazy pada lagu selanjutnya cukup istimewa, irama funk dengan iringan banjo membuat tembang buat dansa ini lumayan menarik. I Want You di lagu selanjutnya lebih bercita rasa musik latin, tetapi tidak begitu menarik dan cenderung membosankan.
Satu tembang yang harus digaris bawahi pada rilisan Down To Earth adalah tembang yang berjudul It's Amazing. Yeah, this track is amazing. Memadukan trip-hop yang dibuka dengan dentingan piano yang kemudian masuk ke dalam alunan trip-hop yang cukup apik. Dan begitu juga dengan Keep On Walking namun disini sedikit terasa membosankan. Tembang pop dengan iringan piano serta string yang cukup manis dan sangat emosional ini berhasil dilakukan dengan Jem dengan Vusi Mahlasela lewat You Will Make It. Penulis sempat merinding ketika mendengarkan tembang ini berulang-ulang, terutama sewaktu klimaks dengan sentuhan world music khas africa lewat vokal Vusi Mahlasela dan monolog Jem yang membuatnya sangat special.
Ada sentuhan baroque di balutan trip-hop pada tembang I Always Knew, citarasa unik yang membuatnya merupakan paduan klasik dan modern sekaligus. Lalu ada Got It Good sebagai tembang pop manis. Seperti yang penulis katakan di awal, tidak ada genre yang pasti di album ini. Tembang Aciiid! menjadi satu bentukan electronic pop mainstream yang ada saat ini dan Jem menjadi sedikit naughty & bitchy di sini. Dan itu berbeda dengan tembang sebelumnya. How Would You Like It adalah tembang pop rock yang tidak terlalu istimewa. Lalu And So I Pray selayaknya lagu-lagu indie kebanyakan. Dan akhirnya ada On Top Of The World sebagai tembang penutup di Down To Earth yang cukup menarik.
Dengan Down To Earth, Jem menceritakan tentang kehidupan manusia yang berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar. Serta hubungan di dalam komunitas sosial. Penulisan lirik yang baik dan tidak selalu berbicara mengenai cinta yang terkadang menjadi basi karena terlalu umum. Well, Down To Earth dengan keberagaman genre-nya mampu menceritakan banyak perbedaan yang ada di dunia ini yang sama sekali tidak sama dalam kehidupan manusia. Dan itu dibuktikan dengan rilisan multi genre bertajuk Down To Earth.
Aly & Fila | Rising Sun
Begitu banyak musisi trance di dunia, ada satu yang paling menarik dan kalau bisa dibilang termasuk underated yaitu duo DJ Aly Amr Fathalah dan Fadi Wassef Naguib yang lebih di kenal dengan nama Aly & Fila yang berasal dari Mesir ini. Berawal akan kecintaan mereka sama musik yang diciptakan Paul Van Dyke mereka memutuskan untuk menjadi musisi trance. Dan setelah tujuh tahun berkarir di dunia musik lantai dansa, akhirnya pada tahun 2010 kemarin mereka merilis studio album pertama mereka Rising Sun.
Satu yang menarik dari komposisi musik Aly & Fila adalah musik trance atmosferik yang mampu beradu dengan vokal namun vokal tidak mendominasi komposisi sehingga musik trance yang mereka mainkan tidak terbanting oleh vokal. Meskipun banyak kolaborasi dengan artis di rilisan Rising Sun ini, tetapi trance yg mereka mainkan tetap terasa dan bukan menjadi musik pengiring sang artist tetapi justru vokal artis itu sendiri yang mengiringi musik yang dimainkan oleh Aly & Fila.
Satu ciri khas yang mendominasi lagi adalah uplifting atau dengan kata lain yaitu membangun alur sampai titik klimaks yang berpadu dengan komposisi musiknya. Sehingga bisa penulis katakan, Aly & Fila berhasil membuat susunan tune yang cukup bisa dikatakan epic. Dan itu tidak bisa dipungkiri, ketika telinga penulis begitu dimanjakan dengan 15 lagu yang ada di dalam rilisan ini.
Rising Sun dibuka dengan sempurna lewat tembang berjudul Medellin yang cukup epic sebagai intronya karena mampu membuat penulis merinding ketika mendengarkannya. Setelah itu langsung saja disuguhkan It Will Be Ok dengan Katherine Crowe yang cukup manis. Tembang ketiga ada My Mind Is With You yang berkolaborasi dengan Denise Rivera yang mampu menaikkan adrenalin anda. Dan itu dibuktikan ketika tembang instrumental bertajuk Rosaires dibunyikan. Instrumental Trance yg dibuat sama Aly & Fila disini
benar-benar membuat penulis mengalami eargasm akan komposisi musiknya. Dibuka dengan tempo cepat dengan atmosfer khas etheral kemudian alur terus naik sampai akhirnya di pecah dibagian tengah dengan memainkan musik ala etheral dengan sedikit sentuhan simfoni yang membangun alur sampai menggila di klimaksnya. This is the real trance, an uplifting epic track.
Overall, dari 15 lagu yang ada di album ini ada beberapa yang tetap standar dan biasa. Namun ada yang istimewa bahkan bisa dikatakan epic, dan itu rata-rata pada tembang instrumental yang layak didengarkan seperti Menes, Khepera, Sandgroper dan Rising Sun. Dan akhirnya, penulis cukup gembira mendengarkan satu rilisan dari Aly & Fila dari Mesir dengan satu rilisan berjudul Rising Sun. Dan penulis katakan, Aly & Fila termasuk salah satu musisi underated di scene musik lantai dansa ini. Great!
Armin Van Buuren | Mirage
Bermain di area musik lantai dansa, salah satu yang paling menarik adalah ketika mendengar sebuah musik instrumental dari seorang DJ yang membangun alur dari nol dan kemudian menuju ke titik adrenaline tertinggi yang mengakibatkan seseorang menjadi kesetanan sesaat karena musiknya. Dan hal ini yang dinamakan trance. Dinamakan begitu karena trance adalah cara membangun alur lewat sebuah musik yang mengakibatkan seseorang mengalami kesetanan. Salah
satu DJ yang paling piawai dalam hal itu adalah seorang DJ yang berasal dari negeri kincir angin, dan dia tak lain adalah Armin Van Buuren.
Di tahun 2010, Armin merilis album studio yang empat sebagai seorang DJ. Bukan proyekan kompilasi A State of Trance yang di mix olehnya. Satu hal yang menarik menurut telinga penulis adalah mendengarkan trance karya armin yang benar2 instrumental. Dan jujur, penulis tidak terlalu suka ketika harus mendengarkan lagu yang berkolaborasi dengan penyanyi lain seperti Sophie Ellis Bextor atau Adam Young di rilisan Mirage ini. Itu dikarenakan tidak terlihat skill yang sebenarnya dan sentuhan trance menjadi berkurang bahkan tidak ada sama sekali.
Parahnya di rilisan Mirage ini, sudah terlalu banyak kolaborasi dengan artis lain. Sebenarnya ini bagus, karena trance yang sebenarnya adalah underground musik di lantai dansa menjadi bisa diterima dan masuk ke dunia mainstream. Salah satu yang berhasil dilakukan Armin yaitu ketika bekerja sama dengan Sophie Ellis Bextor lewat sebuah tembang berjudul Not Giving Up On Love.
Dan lebih parah lagi, Mirage yang berjumlah total 16 tembang ini, 10 diantaranya adalah kolaborasi dengan artis lain. Meskipun bagus dan lebih pop, tetapi justru sangat berkurang untuk mendengarkan trance yang sebenarnya dari Armin. Sehingga mengakibatkan album ini sedikit cheesy, dan ini sangat disayangkan dari seorang DJ sekaliber Armin.
Ini menjadi satu bentuk kekecewaan yang sama ketika mendengarkan rilisan DJ lain yang lebih senang berkolaborasi dengan artis lain dan mengesampingkan musik yang dia punya dan kemampuan yang ia miliki untuk bermain fundamental trance yang hanya sebuah instrumetal. Akhirnya yang tersisa cuma rasa bosan. Beruntunglah untuk penggemar trance dapat menyimak 6 lagu instrumental trance sebenarnya yang diberikan Armin untuk pendengar setianya. Dan itu cukup membantu untuk sedikit mengusir
rasa bosan. Salah satu yang menarik dari itu adalah sebuah lagu yang berjudul sama dengan rilisan ini yaitu Mirage. Progressive Trance yang dibangun disini cukup bagus untuk membangun suasana, terutama ketika memasukan sedikit riff-riff metal di pertengahan lagunya. Cukup bagus ketika mendengarkannya.
Sebenarnya materi lagu cukup menarik ketika dibuka lewat Desiderium 207 yang cukup membuat merinding dan epic sebagai intronya. Yang kemudian langsung dihantam lewat Mirage untuk menaikan adrenalin. This Light Between Us cukup menarik meskipun cheesy. Selanjutnya ada kolaborasi dengan Sophie Ellis Bextor di Not Giving Up On Love membuat saya menyenangi Sophie daripada Armin, sungguh menyebalkan. Selanjutnya ada I Don't Own You yang cukup menarik, dan mampu membangun suasana. Full Focus sebagai track trance sebenarnya bisa dikembangkan lagi, tapi tidak jadinya cukup membosankan meskipun penulis suka di bagian akhir lagunya. Karena langsung berlanjut ke tembang berjudul Take A Moment yang berkolaborasi dengan Winter Kills.
Sayangnya Feels So Good dengan Nadia Ali terlalu biasa, karena Armin tidak bermain banyak disini dan kebanting musiknya meskipun bagus. Virtual Friend juga cukup bisa ketika berkolaborasi dengan Sophie, dan saya cukup terkejut dengan akustik gitar di intronya. Cukup galau lagu ini di awalnya, tetapi langsung diajak Armin untuk berdansa bersama di pertengahan lagu sambil membangun alur trance. Satu tembang yang menarik ketika berkolaborasi dengan artis lain dan disini Armin lebih mendominasi.
Drowning dengan Laura V terlalu biasa, namun itu cukup bisa diobati dengan Down To Love yang berkolaborasi dengan Ana Criado. Lalu ada Coming Home cukup bisa mengobati rasa rindu akan trance. Lumayan menarik, karena intro lagu ini adalah penutup dari lagu sebelumnya dan langsung membangun alur fundamental trance yang sangat penulis rindukan. Dan itu juga dilanjutkan ke track selanjutnya yaitu These Silent Hearts yang berkolaborasi dengan BT, disini Armin tampil dominan sehingga membuat tembang ini sangat menarik.
Setelah situasi sudah menjadi panas, langsung saja Armin membanting telinga anda dengan Orbion yang tidak lain adalah instrumental trance yang sangat bagus. Lalu dengarkanlah kolaborasi dengan DJ Ferry Corsten yang membuat tembang Minack ini cukup fenomal karena penulis sempat merinding dan eargasm ketika mendengarkan karya yang satu ini.
Akhirnya sampai di penghujung album yaitu kolaborasi Armin Van Buuren dengan Adam Young dari Owl City, sebagai tembang pamungkas album ini justru tembang ini jadi tembang yang lemah dan tidak sebagus kolaborasi dengan penyanyi lain yang ada sebelumnya. Seharusnya Armin bisa mendominasi, tetapi justru tune-tune synth pop ala Owl City sangat terdengar dengan jelas. Seharusnya lagu ini jadi lagu dari Adam Young lewat Owl City yang di mix sama Armin Van Buuren. Bagus kalau dari Adam Young, tapi mengecewakan jika ini dari Armin. Tetapi jangan berburuk sangka lebih dahulu, karena tembang ini cukup menarik untuk diputar berulang-ulang.
Overall, Mirage karya Armin Van Buuren ini bisa menjadi karya fenomenal jika dia bisa bekerja sama dengan artis lain dan tetap Armin yang mendominasi. Bukan kebanting dengan artis lain sehingga musik Armin terlupakan begitu saja. Contohnya seperti Sophie Ellis Bextor yang cukup mendominasi sehingga musik Armin langsung terbanting. Jika anda penggemar trance sejati siap-siap kecewa dengan album ini, tetapi jika suka dengan permainan Armin yang dengan sukarela terbanting oleh artis lain maka album trance yang satu ini bisa menjadi satu koleksi
berharga anda. Nice one.
blink-182 | neighborhoods
Sebuah penantian yang lama selama 8 tahun dari seorang fans yang sempat kecewa juga ketika mereka membubarkan diri atau dalam kata lain "tidak aktif sampai jangka waktu yang tidak ditentukan". Dulu sempat pesimis mereka akan kembali lagi, terutama ketika semua personil dari blink-182 membuat proyek sampingan sendiri-sendiri dan meninggalkan blink-182 demi kepuasan egoisme di band baru mereka seperti +44, Box Car Racer dan Angels & Airwaves.
Namun terjadi sebuah kejutan di tahun 2009 ketika Tom DeLonge, Mark Hoppus & Travis Barker sepakat bereuni kembali untuk melanjutkan blink-182 yang selama 6 tahun mereka tinggalan demi egoisme masing-masing di proyekan mereka yang lain. Dan akhirnya setelah 2 tahun bersama kembali di blink-182, mereka merilis sebuah album baru yang diberi nama Neighborhoods.
Sebuah album sebagai pemuas rasa dahaga setelah terakhir kali mereka merilis self-titled album di tahun 2003. Tetapi ketika setelah mendengarkan album ini, hasilnya penulis kecewa. Dan benar-benar kecewa, karena di Neighborhoods ini bukan sama sekali bukan musik dari blink-182 yang penulis kenal tetapi kalau bisa dikatakan dengan jujur bahwa album Neighborhoods ini adalah Angels & Airwaves feat. Mark Hoppus.
Neighborhoods ini terasa sekali citarasa dari Angels & Airwaves, mungkin Box Car Racer sangat kental juga disini. Dan ini sangat disayangkan, ketika penulis ingin mendengarkan the old blink-182. Sepertinya itu sudah menghilang, karena hiatus yang sekian lama dan bermain di proyekan lain sehingga menyebabkan sense musik blink-182 mereka sedikit memudar. Sangat disayangkan.
Kalau boleh penulis katakan, kalau album ini adalah album Angels & Airwaves mungkin bisa penulis maklumi. Tetapi sekali lagi, ini adalah blink-182 yang merupakan salah satu pop-punk heroes yang ada di dunia saat ini. Memang berubah itu bagus, tapi perubahan itu tidak bisa diterima begitu saja dengan baik. Apalagi ketika sudah menjadi penyuka musik blink, dari awal karir mereka.
Sebenarnya secara kualitas album ini tidak bisa dibilang cukup bagus. Rilisan Neighborhoods terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah rilisan standart, yang kedua adalah rilisan deluxe edition. Penulis menyerah jika harus menulis rilisan standart yang berisi cuma 10 lagu dan jika dibandingkan dengan deluxe edition yang berjumlah 14 lagu. Ada empat lagu tidak ada di rilisan standart, kalau bisa penulis bilang album neighborhoods yang sebenarnya ada di deluxe edition karena lagu Snake Charmer cukup menarik meski hilang sentuhan blink. Tetapi sorry untuk yang standart edition.
Mungkin jika penulis lebih senang jika ini adalah album Angels & Airwaves dengan Mark Hoppus atau Box Car Racer. Tetapi jika ini adalah blink-182, penulis sungguh kecewa. Meski secara kualitas bagus jika ini adalah
Angels & Airwaves, tetapi sangat buruk kalau ini adalah blink-182. Dan penulis cukup kecewa dengan ini. Setelah lama menunggu, ternyata cuma kekecewaan saja yang didapat dari blink-182 yang berubah menjadi Angels & Airwaves atau Box Car Racer. Maaf Angels & Airwaves ... eh blink-182.
Todesbonden | Sleep Now, Quiet Forest
Mystic & Magical, itu sensasi yang pertama kali penulis rasakan ketika mendengarkan Todesbonden lewat sebuah rilisan berjudul Sleep Now, Quiet Forest. Biasanya penulis sempat ragu ketika akan mendengarkan band female fronted metal yang membawakan gothic metal semacam Within Temptation atau Nightwish. Tetapi musik dari Todesbonden segara menghapus pikiran semacam itu dan itu lebih dari apa yang penulis harapkan ketika dibandingkan dengan dua band tersebut.
Perpaduan neo-folk yang dicampur dengan world music atau new age serta sentuhan musik opera dengan doom metal menjadikan musik yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Laurie Ann Haus ex band Autumn Tears dan Rain Fell Within yang memiliki ciri khas sendiri lewat vokal bak suara malaikat dengan musiknya. Hal ini dibuktikan dengan sebuah rilisan berjudul Sleep Now, Quiet Forest yang bisa penulis katakan bahwa inilah gothic music yang sebenarnya dan itu adalah absolut.
Jika bisa diperjelas, Todesbonden adalah perpaduan yang eksotis antara world music dengan epic metal yang dipimpin oleh seorang wanita penyanyi opera dengan karakter vokal seperti folk klasik di negara balkan, timur tengah, kawasan celtic maupun dengan style modern. Rilisan ini ibaratnya menembus batas ruang dan waktu yang menggabungkan semuanya menjadi satu komposisi yang epic dengan nuansa fantasi yang sangat kental.
Coba lupakan tentang band Power Metal berbalut Gothic dengan penyanyi wanita yang ada kalanya bagus meski tidak semuanya. Ada sedikit persamaan yang didapat akan musik Todesbonden seperti Epica atau After Forever, tetapi perbedaan utama sangat jelas yaitu musiknya cenderung gelap dan lambat. Dan karena lambat itu, pengaruh doom sangat kental. Meskipun label doom itu berkonotasi gelap, tetapi perpaduan apik dengan world music menjadikan Todesbonden sangat berbeda di dalam komposisinya.
Sleep Now, Quiet Forest ibaratnya adalah satu cerita epic yang dibunyikan lewat musik dan vokal. Ada 11 lagu di dalam rilisan ini yang kalau penulis bisa katakan adalah bab dalam novel fantasi epic karya J.R.R. Tolkien yaitu The Lord of The Rings. Dibuka dengan Surrender To The Sea yang kental perpaduan antara metal, folk dan doom. Yang dilanjutkan dengan Surya Namaskara dengan nuansa world music yang cukup kental dengan karakter vokal ala folk timur tengah. Dan banyak sekali sentuhan yang cukup menawan di tembang-tembang selanjutnya. Ada satu tembang yang cukup menarik bagi penulis yaitu Aengus Og Fiddle, entah kenapa ketika mendengarkan ini penulis langsung ingat sama adegan di film The Lord of The Rings - Return of The Kings sewaktu seorang Hobbit bernama Peregrin Took atau Pippin bernyanyi ketika tentara Gondor asal Minas Tirith menyerang musuh dan kalah telak. Vokal yang indah yang dipadu dengan instrumen folk tradisional membuat sebuah tembang ini sangat epic.
Well, Todesbonden lewat Sleep Now, Quiet Forest tidak seperti band gothic kebanyakan. Mungkin bagi anda yang terbiasa dengan tempo cepat ala Gothic Metal kebanyakan akan kecewa dengan rilisan ini. Tetapi jika ingin mendengarkan sebuah rilisan yang absolut akan gothic dalam arti sebenarnya yang bukan dari jenis musik Darkwave, maka Sleep Now, Quiet Forest menjadi salah satu solusinya. Lirik yang epic dengan cerita yang epic pula serta vokal yang epic dan musik yang cukup epic akan menjadi sajian yang menarik untuk anda. Cobalah, penulis yakin anda tidak akan kecewa akan musik dari Todesbonden. Dan inilah salah satu band underrated di dalam scene musik ini. Great !
the HIATUS | Trash We'd Love
Bagi penulis, the HIATUS adalah sebuah supergroup dari jepang. Kenapa bisa penulis bilang supergroup? Itu dikarenakan formasi dari band ini berasal dari band terkenal asal negeri matahari. Coba saja bayangkan ketika band semacam ELLEGARDEN, FULLSCRATCH, Radio Caroline, Toe dan Neil & Iraiza bersatu padu membentuk the HIATUS maka hasilnya adalah alternative rock dengan sentuhan punk rock serta pop punk cukup mendominasi lewat rilisan yang diberi judul Trash We'd Love.
Toe yang menjadi band favorit penulis hadir di the HIATUS lewat gebukan drummer-nya yaitu Kashikura Takashi. Takeshi Hosomi dari ELLEGARDEN sebagai vokalis dan gitar, Masasucks dari FULLSCRATCH dengan gitar, Bass diisi oleh Ueno Koji dari Radio Caroline dan Piano oleh Horie Hirohisa dari Neil & Iraiza.
Jujur saja, ketika mendengarkan musik dari the HIATUS pada awalnya. Penulis tidak menyangka bahwa band ini adalah band Jepang. Karena band jepang sangat jarang membawakan Pop Punk dengan lirik bahasa inggris yang dinyanyikan dengan pronunciation bahasa inggris yang sangat lancar.
Trash We'd Love dengan total 11 lagu ini sangat kental dengan nuansa alternative rock, punk rock dan pop punk. Dibuka lewat Ghost In The Rain, the HIATUS langsung menghentak lewat dentingan piano yang kemudian berbaur menjadi satu lewat sebuah komposisi musik yang berkiblat ke arah pop punk dengan tune yg catchy serta dengan permainan drum yang luar biasa. Lone Train Running dibuka dengan vokal Takashi dengan dentingan piano indah yang langsung dibantai dengan riff gitar serta gebukan drum hardcore ala Toe, membuat tembang ini menjadi tembang yang bisa mengajak headbanging penulis.
Dibuka dengan riff gitar yang berat dan cepat, langsung saya the HIATUS menghentak lewat tembang berjudul Centipede yang cukup catchy dan diiringi dengan balutan punk rock yang cukup kental. Kemudian dilanjutkan ke Silver Birch yang didominasi dengan permainan piano serta ketukan drum yang sedikit ke arah math yang menjadi ciri khas Toe. Sungguh satu tembang yang cukup renyah dan menarik dengan built up yang sempurna. EPIC!
Tembang kelima, the HIATUS bernyanyi dengan bahasa jepang lewat Daten (堕天). Tetapi sekali lagi, penulis cukup dikejutkan oleh permainan drum Kashikura Takashi di awal tembang ini dan cukup mendominasi sampai klimaks lagu ini. Dan permainan drum ala math rock di sini emang menjadi candu bagi telinga penulis. Belum cukup eargasm yang tawarkan di tembang sebelumnya, langsung saja the HIATUS menghentak lewat Storm Racers yang mampu mengangkat adrenalin sampai tingkat tertinggi.
Sepertinya the HIATUS mengajak pendengar bersantai sejenak setelah adrenalin dipaksa di tembang sebelumnya, Little Odyssey hadir dengan nuansa pop ballad yang menarik lewat dentingan piano Hirohisa dan vokal Takashi. Penjiwaan didapat begitu baik dan tak ayal mampu membuat penulis merinding ketika mendengarkan tembang ini. Setelah santai sejenak, langsung saja the HIATUS siap membanting telinga anda lewat The Flare dengan segala permainan yang gila terutama pada piano dan drum yang dipadu dengan riff gitar dan bass sebagai atmosfer lagunya.
Konpeki no yoru ni (紺碧の夜に) adalah tembang berbahasa jepang kedua di album ini yang menghadirkan spirit dan semangat tinggi yang membawa adrenalin naik sampai tingkat tertinggi. Kemudian dilanjutkan ke Unicorn (ユニコーン) sebagai tembang ketiga yang berbahasa jepang, dengan pop ballad yang cukup menarik serta tune yang catchy. Satu yang spesial disini adalah permainan drum dengan ketukan ala march.
Album Trash We'd Love ditutup lewat sebuah tembang berjudul Twisted Maple Trees yang cukup renyah dengan permainan riff ringan serta twinkle gitar dan permainan piano di awal sampai pertengahan lagu. Dan ketika masuk ke pertengahan lagu dimana ketukan drum mulai masuk sampai klimaks membuat tembang ini begitu sempurna dari segi built up alur. Dan itu merupakan perpaduan yang luar biasa menjadi satu bentukan post-rock dengan vokal yang cukup sempurna. Tak ayal lagi, penulis mencapai eargasm serta puncak adrenalin sampai titik trance di tembang penutup ini. AWESOME!
Satu hal yang digaris bawahi, the HIATUS sebagai supergroup
ini menghasilkan sebuah karya masterpiece. Masing-masing elemen di
tawarkan dengan porsi yang seimbang serta menciptakan sebuah karya yang
cukup fenomenal di telinga penulis. Dari vokal, gitar, bass, drum sampai
piano semuanya menyatu menjadi satu komposisi yang menjadi ciri khas the HIATUS lewat Trash We'd Love. Nice Album!
Gavy NJ | Glossy
Ketika fundamental budaya pop korea bersuara lewat musik dan suara tanpa berdansa, Gavy NJ hadir mengisi ruang itu dengan fundamental pop korea yang sudah sebagaimana mestinya tanpa tercampur dengan unsur asing. Dan seperti inilah yang terdengar seperti soundtrack drama asal korea yang seringkali diputar di televisi-televisi lokal. Pop mellow mendayu tanpa
mencoba menjadi imut serta menjadi penggoda pria lewat dansa dan tari, ditawarkan Gavy NJ lewat fundamental pop korea lewat sebuah mini album berjudul Glossy yang berisi lima tembang manis ini.
Berbicara mengenai fundamental pop korea, ini juga tidak terlepas dengan budaya pop mereka. Di satu sisi ini juga mengingatkan penulis akan musisi dan penyanyi pop asal negeri tirai bambu sejak era 90'an hadir lewat musik serupa dengan sentuhan pop nan mellow nan santai. Beralih sejenak ke pop negeri ginseng yang hadir dengan tema serupa, namun tidak bisa dipungkiri bahwa seperti inilah fundamental pop korea. Gavy NJ mencoba mengajak pendengar menyimak musik pop ballad ringan tanpa embel-embel modernisme serta pengaruh budaya mainstream dari luar lewat Glossy.
Lima tembang mellow disajikan lewat cara sederhana karena hanya menjual suara. Dan itulah yang dibutuhkan untuk grup vokal, karena hanya sebagai penyanyi solo atau grup. Kualitas suara ada mutlak karena disitulah karakter vokal bisa dinilai dan diukur. Bukan dengan cara mempermak vokal dengan instrumen lain yang kualitasnya tidak bisa dipertanggung jawabkan ketika bernyanyi live.
Satu tembang yang lumayan menarik yaitu Try It Again dengan bumbu akustik serta sedikit sentuhan jazz. Disini karakter vokal Gavy NJ begitu terasa meski cuma ada satu vokal yang mendominasi. Tapi itu tidak mengapa karena mereka bertiga bernyanyi bergantian serta satu lead vokal memimpin di bagian reff dengan terdengar suara vokal yang mengisi latar belakanganya.
Well, inilah Gavy NJ yang hadir lewat fundamental pop korea yang sesuai budaya pop mereka yang penulis kenal sejak dulu kala. Tembang pop ballad yang menjadi ciri khas negara di kawasan asia termasuk juga Indonesia. Dan disinilah Glossy bercerita tentang itu.
Emmy The Great | Virtue
Ketika musik folk dibawakan dengan cara berbeda yang mencoba melawan mainstream folk itu sendiri sehingga musik yang diaransemen dengan sentuhan experimental ini sempat disebut anti-folk.
Itu bukan folk, tetapi jika didengarkan dengan sesama ada elemen folk
didalamnya tetapi tidak pada porsinya namun kebalikan. Dan salah satu
yang menjadi pembicaraan saat ini yaitu karya dari seorang singer songwriter bernama Emma-Lee Moss dari London Inggris yang lebih dikenal lewat Emmy The Great.
Dengan lirik yang sangat dalam serta kesimpelan musiknya yang cenderung akustik, Virtue sebagai rilisan kedua memiliki cita rasa yang santai, manis dan cukup menyentuh. Berbeda dengan rilisan pertama Emma yaitu First Love yang lebih personal dalam penulisan liriknya, di Virtue lebih terkesan kelam dan gelap. Dan itu sesuai dengan kondisi dimana Emma sedang mengalami patah hati ketika menulis Virtue sehingga nuansa kelam gelap dan cenderung spooky di beberapa tembang yang ada di sini sangat terasa.
Dinosaur Sex adalah tembang pertama di Virtue, dan jika ada mencoba melihat cover album Virtue maka disitu juga ada miniatur dinosaurus. Disitu Emma menulis betapa kecewa dirinya dan itulah dimana hari dan kisah cintanya berakhir, namun disitulah ide awal Virtue berasal. Ada juga sebuah tembang yang mengingatkan penulis terhadap Oh Land lewat Paper Forest (In the afterglow of Rapture) karena ciri khas musiknya yang sangat khas dengan penulisan lirik yang sangat dalam dipadu dengan komposisi yang menarik pada musiknya. Great One!
Dari sepuluh tembang yang terangkum dalam Virtue ini ada beberapa tembang yang cukup menyentuh selain dua yang sudah penulis sebutkan sebelumnya. Di tembang Creation, nuansa yang hadir cukup kelam dengan suara synth pada atmosfer musiknya. Dan yang terakhir adalah Trellick Tower sebagai tembang penutup di album ini. Trellick Tower hadir degan cara yang cukup simpel dengan vokal dari Emma yang dipadu dentingan piano sehingga menciptakan suasana yang syahdu dengan penulisan lirik yang cukup dalam dengan simbolisme yang menceritakan rasa putus asa ketika kegagalan cintanya terjadi sebelum penulisan Virtue.
Virtue sungguh menarik untuk disimak, tune yang kalem dipadu dengan indahnya suara vokal dari Emma menjadi satu rilisan yang menarik untuk dicoba. Elemen folk yang memudar yang menjadikanya satu bentukan baru yang tidak biasa menjadikan satu album ini punya cita rasa sendiri. Dan inilah Virtue dari Emmy The Great.
Dengan lirik yang sangat dalam serta kesimpelan musiknya yang cenderung akustik, Virtue sebagai rilisan kedua memiliki cita rasa yang santai, manis dan cukup menyentuh. Berbeda dengan rilisan pertama Emma yaitu First Love yang lebih personal dalam penulisan liriknya, di Virtue lebih terkesan kelam dan gelap. Dan itu sesuai dengan kondisi dimana Emma sedang mengalami patah hati ketika menulis Virtue sehingga nuansa kelam gelap dan cenderung spooky di beberapa tembang yang ada di sini sangat terasa.
Dinosaur Sex adalah tembang pertama di Virtue, dan jika ada mencoba melihat cover album Virtue maka disitu juga ada miniatur dinosaurus. Disitu Emma menulis betapa kecewa dirinya dan itulah dimana hari dan kisah cintanya berakhir, namun disitulah ide awal Virtue berasal. Ada juga sebuah tembang yang mengingatkan penulis terhadap Oh Land lewat Paper Forest (In the afterglow of Rapture) karena ciri khas musiknya yang sangat khas dengan penulisan lirik yang sangat dalam dipadu dengan komposisi yang menarik pada musiknya. Great One!
Dari sepuluh tembang yang terangkum dalam Virtue ini ada beberapa tembang yang cukup menyentuh selain dua yang sudah penulis sebutkan sebelumnya. Di tembang Creation, nuansa yang hadir cukup kelam dengan suara synth pada atmosfer musiknya. Dan yang terakhir adalah Trellick Tower sebagai tembang penutup di album ini. Trellick Tower hadir degan cara yang cukup simpel dengan vokal dari Emma yang dipadu dentingan piano sehingga menciptakan suasana yang syahdu dengan penulisan lirik yang cukup dalam dengan simbolisme yang menceritakan rasa putus asa ketika kegagalan cintanya terjadi sebelum penulisan Virtue.
Virtue sungguh menarik untuk disimak, tune yang kalem dipadu dengan indahnya suara vokal dari Emma menjadi satu rilisan yang menarik untuk dicoba. Elemen folk yang memudar yang menjadikanya satu bentukan baru yang tidak biasa menjadikan satu album ini punya cita rasa sendiri. Dan inilah Virtue dari Emmy The Great.
Artist
Emmy The Great
Album
Virtue
Rilis
2011
Genre
Anti-Folk, Acoustic, Folk
Rating
8 | 10
Emmy The Great
Album
Virtue
Rilis
2011
Genre
Anti-Folk, Acoustic, Folk
Rating
8 | 10
_____________________________________
Cory Johnson | The Legend of Zelda (Demo)
Mendengar musik dari Cory Johnson ibaratnya mendapat sebuah harta karun yang berharga, terutama jika anda adalah penggemar post-rock serta juga seorang gamer terutama jika pernah memainkan sebuah game RPG keluaran Nintendo berjudul The Legend of Zelda yang rilis diberbagai game console. Langkah yang dilakukan oleh Cory Johnson mengingatkan penulis kepada sebuah karya instrumental rock oleh Minibosses yang mencoba mengaransemen ulang karya klasik musik dari game nintendo 8 bit ke dalam satu bentukan baru yaitu instrumental rock.
Bukan sebuah langkah baru, tetapi hal ini dapat membawa oase segar untuk penggemar game Zelda sekaligus penggemar musik post-rock. Tetapi ketika berbicara di luar itu, dalam arti lain adalah penggemar musik post-rock secara general. Maka karya yang dilakukan oleh Cory Johnson tidak terlalu istimewa, meskipun feel post-rock serta math rock sangat terasa tetapi kurang menggigit dan cenderung mengarah sebagai pengganti background musik game yang bersangkutan dengan arasemen jenius menggunakan elemen post-rock ke dalam musiknya.
Namun ada yang sangat disayangkan, karena memang sebagai proyek solo. Proses mixing yang belum selesai membuat saya masih berusaha menerima satu karya ini, karena masih benar-benar mentah dan itu tanpa mixing sama sekali. Sehingga terdengar sangat kasar dan tidak bersih. Tetapi dibalik semua itu, aransemen ulang untuk menciptakan suasana baru dapat dilakukan dengan sukses tanpa terkendala.
The Legend of Zelda (Demo) itu adalah sebuah rilisan yang sanggup membuat banyak orang terpukau, apalagi mereka adalah penikmat game The Legend of Zelda. Empat belas track yang ada di dalamnya adalah sebuah kompilasi dari keseluruhan musik latar belakang dari game Zelda mulai dari era 8bit, 16bit sampai di era next generation console.
Seluruh materi yang ada disini, dapat diaransemen dengan sempurna. Built up sudah terasa. Ada beberapa track yang mengadopsi permainan band Battles untuk memainkan math rock. Serta banyak bumbu sedap lainnya yang tertuangkan di dalam album demo ini. Dan bumbu itu sangat lezat jika dinikmati oleh penggemar game Legend of Zelda.
Well, satu hal yang istimewa disini adalah bagaimana seandainya jika para pengembang game dapat menciptakan sebuah game dengan scoring yang menggunakan musik post-rock. Pasti penulis akan senantiasa mencoba dan memainkan game itu. Dan kalau bisa, ajak juga Cory Johnson sebagai penata musik di game tersebut karena dia sukses menciptakan aransemen ulang The Legend of Zelda dalam versi post-rock.
Akhirnya dapat penulis katakan, meski masih berlabel demo dan belum di mixing sama sekali karena itu tidak termasuk dalam kategori penilaian penulis. Dan ini sebuah karya yang ada di dalam sini mampu membuat nuansa yang lama menjadi baru meski tidak meninggalkan rasa yang lama. Coba dan nikmati sensasi baru dalam musik ini, meski kalau penulis nilai tidak terlalu istimewa juga. Namun yang penulis tunggu adalah rilisan album ini yang telah matang karena musik dari ksatria Hyrule ini cukup
memiliki kesan mendalam.
Jonas Brothers | Self Titled & A Little Bit Longer
Jonas Brothers, sebuah band ABG yang mulai terkenal lewat acara di Disney Channel. Dan setingkat sama dengan Miley Cyrus serta artis dan penyanyi dari High School Musical. Jonas Brothers mengingatkan penulis akan dua band di masa lalu yang sama-sama berkeluarga yaitu The Moffats dan Hanson.
Namun ada satu perbedaan diantara mereka, yang dulu bisa diterima dengan baik oleh telinga saya dengan baik. Tetapi herannya yang sekarang tidak bisa sama sekali, karena begitu membosankan. Mungkin umur sudah cukup tua untuk menikmati musik ringan tak berseni. Atau telinga sudah terlalu tuli untuk mendengarkan musik kebanyakan. Well, who knows!
Mengingat sepanjang sejarah yang ada. Band yang menjadi idola remaja ini singkat sekali umurnya. Dulu ada Hanson tetapi sekarang bak hilang ditelan bumi apalagi ketika musiknya lebih dewasa. Dulu ada Moffats tetapi sekarang juga hilang ditelan bumi. Konsistensi serta perkembangan musikalisasi perlu dibutuhkan ketika musik bisa dinilai, tetapi sering hal itu berbanding terbalik dengan selera pasar. Dan disitulah Jonas Brothers berada.
Kualitas musik tidak terlalu dibutuhkan demi kebutuhan pasar yang demikian besar. Apalagi dengan dan kebutuhan yang besar untuk mengatasi rasa dahaga para remaja yang sedang mencari jati diri akan sebuah identitas. Apalagi ketika mereka sedang dilanda cinta monyet, dan mengenal cinta untuk pertama kali. Maka musik Jonas Brothers menjadi satu soundtrack yang sempurna untuk mereka. Keindahan masa remaja dapat
dirangkum menjadi satu di dalam lirik dan lagu di kedua album Jonas Brothers ini.
Musik dan lirik bertemakan cinta tidak jauh dari komposisi yang dibalut dalam pop rock yang cheesy dan mudah diterima. Ada satu tembang cinta yang menarik seperti When You Look Me In The Eyes di album Self-Titled mereka. Menarik dari segi komposisi sebagai lagu pop bertema cinta. Sebuah soundtrack yang pas ketika seorang lelaki ingin menembak kekasihnya. Meski sedikit terkesan gombal dalam penulisan lirik, tetapi inilah satu tembang terbaik yang pernah diciptakan oleh Jonas Brothers. Dan satu tembang
yang menyelamatkan nilai dari Jonas Brothers.
Di album A Little Bit Longer, musik dari Jonas Brothers sudah mengalami peningkatan dari segi komposisi terutama sebuah tembang berjudul Burnin' Up. Tetapi ada satu lagu yang cukup annoying di album A Little Bit Longer yang berjudul Video Girl. Dan inilah yang membuat saya ilfil kembali dengan band yang satu ini. Ketika lawan jenis yang sudah tergila-gila dengan ketampanan Jonas bersaudara yang disampaikan di intro lagu ini, dan itu cukup membuat saya mual dan langsung menstop lagu tersebut. Yeah .. yeah ... itulah resiko yang harus dihadapi seorang pria ketika mendengarkan kumpulan lagu roman yang ditujukan untuk kaum wanita.
Well, dari 28 tembang yang terangkum dalam 2 album Jonas Brothers ini ada beberapa tembang roman yang menjadi favorit penulis tetapi banyak juga tembang yang sama sekali tidak penulis sukai karena terlalu biasa dari segi musik serta lagunya. Dan inilah Jonas Brothers yang musiknya menjadi soundtrack para remaja masa kini khususnya kaum hawa, suka tidak suka Jonas Brothers telah menjadi satu bagian untuk musik konsumsi kaum remaja kebanyakan di masa kini. Ada satu hal yang harus digaris bawahi, masa penulis untuk mendengarkan seperti ini sudah lewat dan terkubur di masa lalu ketika penulis masih ingat dengan situasi dimana saat itu penulis sedang jatuh cinta untuk pertama kali kepada seorang wanita yang diiringi musik dengan tema serupa.
Stars and Rabbit | 6 Singles
Cukup shock juga telinga saya ketika mendengar beberapa 6 single dari Stars and Rabbit. Dimana 3 diantaranya sudah matang, sedangkan 3 diantaranya masih
mentah. Cukup shock karena 3 single yang sudah matang itu dengan aransemen folk serta sedikit sentuhan indie pop itu membuat penulis merasa ilfil ketika mendengarkan suara vokal duo Stars and Rabbit dari Yogyakarta Indonesia ini dimana Elda Suryani sebagai vokalis dan Adi Widodo untuk musiknya.
Keunikan vokal Elda Suryani yang bisa dibilang sampai titik annoying ini menurut telinga penulis termasuk tipe karakter vokal yang berbeda seperti yang ada kebanyakan. Mungkin karena tidak terbiasa dengan cara bernyanyi dan tipe suara seperti itu maka dapat penulis katakan bahwa itu annoying. Dan bagi saya sendiri, itu justru sedikit merusak sebuah komposisi musik yang sudah baik dari yang penulis dengarkan. Tetapi disitulah keunikan dan karakter musik Stars and Rabbit dapat anda rasakan dan dengarkan sensasinya. Mungkin pada awalnya tidak
begitu suka, tetapi jika sudah menemukan sensasi sendiri di musiknya maka hal tersebut dapat diterima oleh telinga dan akal sehat.
Tiga tembang yang sudah matang itu adalah Like It Here, Rabbit Run dan Worth It. Sedangkan yang masih mentah dan masih menggunakan raw recording seadanya itu adalah I'll Go Along, Man Upon the Hill dan You Were the Universe.
Ketika sudah sedikit memaklumi karakter vokal di Like It Here sebagai tembang pertama yang saya dengarkan. Musik yang dibuka dengan nuansa santai dengan sentuhan tremolo gitarnya di atmosfer musiknya membuat situasi menjadi syahdu. Perpaduan vokal dan musik membuat satu tembang bernuansa soul itu sungguh begitu
indah ketika didengarkan. Dan sungguh atmosfer di lagu ini terasa begitu indah. Dan kalau bisa saya katakan bahwa tembang ini adalah dream pop.
Great!
Tetapi nuansa akan menjadi berbeda ketika masuk di tembang bertajuk Rabbit Run. Karena ini benar-benar murni folk yang cukup ringan gembira khas celtic dimana nuansa digambarkan ibarat petani di negeri celtic yang sedang berpesta pora atau kebingungan mencari seekor kelinci yang melarikan diri. Cukup menarik.
Ketika sudah memasuki Worth It, disini kematangan musik serta ciri khas dari Stars and Rabbit mulai terasa. Dan akhirnya saya sudah terbiasa dengan karakter vokal Elda. Irama folk yang berpadu dengan ringannya indie pop membuat tembang ini memiliki cita rasa sendiri. Sangat renyah.
Untuk tiga tembang yang masih mentah tidak bisa saya nilai, karena kualitas masih benar-benar mentah dan direkam dengan recorder seadanya. Berisi lagu-lagu manis dan santai serta diiringi oleh gitar akustik tuk menemani vokal. Dan inilah yang akan penulis tunggu ketika sudah menjadi matang dengan aransemen yang menarik.
Well, Stars and Rabbit sanggup menawarkan musik ringan dengan sentuhan folk didalam balutan indie pop. Dan satu yang pasti, penulis akan tetap menunggu kehadiran ep atau album dari mereka untuk bisa mereview dengan baik akan totalitas mereka dalam bermusik. Tetapi disinilah tunas baru dibentuk. Dan dari tiga single yang sudah penulis dengarkan, Stars and Rabbit bisa menjadi ancaman untuk scene musik indie pop Indonesia dimasa mendatang. Good one!
SCANDAL | BEST★SCANDAL
These girls can rock! And ready to rock your ears. Yeah, itulah SCANDAL yang tak lain adalah empat gadis pelajar asal Osaka Jepang. Dengan mengusung jenis musik rop rock, SCANDAL membuat panas livehouse di setiap akhir minggu. Dan dengan tune yang catchy mampu mengajak anda berdansa mendengarkan musiknya. Spirit girls can rock tak ayal mampu menghantarkan musik mereka dari telinga ke telinga,
mulut ke mulut, venue ke venue sampai akhirnya masuk studio rekaman dan merilis album pertama mereka yang berjudul BEST★SCANDAL yang merangkum 13 tembang di dalam satu album.
Mendengar sekumpulan girls can rock, ingatan penulis langsung melayang ke masa silam dimana banyak band asal jepang yang semuanya anggotanya adalah wanita seperti Shonen Knife yang membawakan pop-punk / alternative atau The 5.6.7.8's dengan rockabilly / surf rock atau yang lebih ekstrem seperti Melt-Banana dengan punk / noise serta experimental.
Tidak seperti tiga band diatas yang menjadi cult dengan image girls can rock dengan penggemar yang benar-benar mengapresiasi musik dan semangat girls power mereka. SCANDAL hadir nuansa yang lebih ceria dan semangat yang baru bagi generasi muda. Dan semangat itu sama seperti yang penulis dengar dan rasakan satu dekade yang lalu lewat Shonen Knife.
Meskipun berjudul BEST★SCANDAL, album perdana ini bukan berarti adalah album hits atau album kompilasi berisi hits dari SCANDAL. Dan album ini dibuka dengan tiupan semangat di hari baru lewat SCANDAL BABY. Semangat tanpa henti itu terus di dengungkan sampai keseluruhan tembang telah habis dinyanyikan oleh mereka. Penuh dengan nuansa pop rock serta sedikit sentuhan garage rock membuat album ini cocok untuk mengisi suasana yang riang.
Tetapi sayang, meski berjudul BEST★SCANDAL. Album tidak 'BEST' bagi penulis karena cenderung monoton dan sempat membosankan ketika mendengarkan ulang album ini. Hanya beberapa tembang saja yang masuk di telinga dan lumayan bagus untuk diputar ulang. Tembang seperti DOLL, Maboroshi Night, Kagerou -album mix- itu yang menjadi favorit penulis.
Well, meski nuansa rock sangat kental disini. Bukan berarti album ini 'BEST' didalam kategori rock. Tetapi inilah album BEST dari SCANDAL. Ringan dan ceria membuat satu album ini layak diperhitungan buat para penggemar baru musik rock jepang. Tetapi bagi saya sendiri, album cukup biasa dan kurang ada sesuatu yang menggigit telinga saya. Lumayanlah.
Mansun | Six
What a sound? Beberapa elemen dalam musik dicampur menjadi satu di dalam satu komposisi musik yang sempurna. Semua itu bisa dilakukan oleh Mansun lewat rilisan bertajuk Six. Dan jujur saja, penulis sampai kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan secara detil rililsan ini. Akhirnya menjadi sebuah karya masterpiece dari Mansun, dan itu tidak bisa dipungkiri lewat musik dari band Britpop asal Chester Inggris ini.
Coba anda bayangkan ketika Progressive Rock dicampur dengan Psychedelic serta sedikit sentuhan Shoegaze ditambah dengan sedikit bumbu Pop ala Britpop kebanyakan. Ditambah dengan cara bereksperimental layaknya Radiohead atau musik dari Manic Street Preachers yang menjadikan rilisan Six menjadi rilisan Alternative atau bisa disebut Art Rock yang luar biasa. Wow, penulis sampai merinding ketika mendengarkan keseluruhan album ini.
Namun sangat disayangkan, Mansun hadir disaat yang salah sewaktu invasi Britpop di era '90an ketika musik sejenis termakan oleh band yang sudah memilki nama saat itu seperti laiknya Radiohead yang merilis OK Computer dan Oasis dengan Be Here Now. Mansun hadir dengan moment yang salah di saat itu, karena menurut saya kemampuan musikalitas dari Mansun hampir sama dengan kemampuan Radiohead di akhir 90'an dengan OK Computer-nya. Sial sekali bagi Mansun, Six yang bagi penulis berkualitas sama dengan OK Computer termakan oleh hype yang begitu besar dari band papan atas britpop saat itu. Dan akhirnya rilisan Six hanya menjadi pengisi sebuah sejarah yang akhirnya terlupakan.
Berbicara mengenai Six, album ini dibuka lewat sebuah tembang berjudul sama dengan album ini. Six dibuka lewat permainan piano dengan elektronik yang ringan, serta dipadu dengan riff riff gitar ringan serta vokal Paul Draper yang menurut saya karakter suaranya hampir mirip dengan Brett Anderson dari Suede. Setelah itu musik Mansun bertransformasi dengan bumbu ambient elektronik ala Radiohead, lalu masuk ke sesi selanjutnya lewat sound dan tune psikedelik yang lumayan bisa membuat anda nge-fly sesaat karena mabuk dengan tune yang ada. Dan akhirnya langsung dibantai dengan musik yang berirama cepat serta tune progresif sampai klimaks lagu ini. Lalu tanpa henti, langsung dilanjut ke tembang berikutnya yaitu Negative.
Hadir dengan rasa yang berbeda dengan Six, Negative yang penuh dengan bumbu gitar psikedelik sebagai atmosfer musiknya. Membuat tembang sarat bumbu progresif layaknya The Mars Volta ini memiliki ciri khas sendiri dibandingkan dengan komposisi jenius di tembang sebelumnya. Inverse Midas sebagai tembang ketiga cukup simpel dengan permainan akustik piano serta vokal yang menurut penulis hanya sebagai interlude yang berkesinambungan dengan tembang Anti Everything yang hadir setelahnya. Nuansa psikedelik begitu terdengar nyata di sini sebagai scoring yang baik ketika sedang menyeruput mariyuana.
Masih dalam kondisi yang mabuk, Mansun kemudian hadir lewat sebuah tembang berjudul Fall Out. Di situ penulis terkejut karena ada satu bagian chimes yang sangat terkenal dari Tchaikovsky lewat Nutcracker Suite-nya bergema di barisan nada pada pembukaan Fall Out lewat dentingan lonceng yang mengingatkan penulis akan sebuah film bertemakan natal.
Serotonin kemudian Cancer termasuk salah Mansun dalam menuangkan segala ekspresi musiknya. Terutama di dalam Cancer, komposisi musik dihadirkan dengan yang tidak biasa, cenderung absurd, sedikit annoying tetapi disatu sisi cukup jenius. Di dalam sebuah tembang sepanjang 9 menit ini, Mansun menuangkan segala keabsurdan sureal tanpa batas dimana terjadi perbedaan setipis kertas bahwa itu bodoh atau jenius. Cancer adalah sebuah masterpiece dengan banyak fragmen bunyi yang disusun menjadi satu kesatuan seni. EPIC song!
Mungkin mereka terlalu baik hati untuk pendengarnya, setelah menikmati sebuah masterpiece akan sebuah komposisi kumpulan bunyi. Mereka memberikan Witness To A Murder (Part 2) yang tidak lain adalah sebuah interlude dengan permainan akustik gitar dengan nyanyian seriosa bak abad Baroque serta puisi monolog yang membuat interlude ini ibaratnya sebuah lagu dari jaman pertengahan. Pikiran penulis langsung melayang ke kisah-kisah fantasi dimana seorang ksatria akan
pergi meninggalkan kawananannya untuk berperang melawan seekor naga. What a sound?
Cukup menikmati fantasi itu, Television hadir dengan nuansa yang cukup epic. Bunyi-bunyian aneh yang meningatkan saya akan absudisme tingkat akut di album Kid A dari Radiohead terdengar disini. Komposisi rumit yang susah dicerna oleh telinga normal pasti menolak dengan situasi yang seperti ini. Tetapi inilah
mansun yang menghadirkan sebuah lukisan bunyi dengan cita rasa seni yang tinggi. Special/Blown It (Delete As Appropriate) cukup ringan dengan dosis rendah akan psikedelik nan absurd yang menjelma menjadi rock berseni.
Legacy yang ditulis dengan baik dari segi lirik serta nada, membuat tembang ini menjadi salah satu tembang yang mudah dicerna dan lebih pop dibandingkan karya seni yang sudah mereka ciptakan sebelumnya. Dan sebagai penutup ada Being A Girl yang hadir bukan sebagai penutup murahan tetapi sebuah penutup progresif bercita rasa tinggi.
Akhirnya, penulis cuma bisa terpukau dan geleng-geleng kepala dengan sebuah lukisan bunyi yang diberi judul Six ini. Sebuah komposisi yang luar biasa dalam menyusun bunyi. Sebuah album berkonsep luar biasa. Ibaratnya Six itu adalah sebuah lagu dengan durasi sekitar 70 menit yang dibagi menjadi 13 bagian. Dan masing-masing bagian itu dibagi lagi menjadi beberapa fragmen bunyi yang terangkum dalam satu komposisi. Sungguh sebuah mahakarya dengan cita rasa seni tinggi yang dilukis dalam kanvas bunyi.
Artist
Mansun
Album
Six
Rilis
1999
Genre
Art Rock, Alternative, Progressive Rock, Britpop
Rating
10 | 10
_________________________________________
Various Artist - Rocktober Geng Fruity Loops
Mendengar Rocktober yang tidak lain adalah rilisan ketiga dari komunitas Geng Fruity Loops Kaskus ibaratnya mendengar sebuah Festival Musik Rock bisu, karena mayoritas yang naik ke panggung memecat vokalis mereka demi sebuah esensi musik rock tanpa vokal. Meski ada beberapa yang sepakat menggunakan vokal, itu demi sebuah esensi yang baru dan berbeda dari
Festival Musik Rock bisu. Dan disitulah keunikan sebuah festival musik dengan nama Rocktober ini.
Festival dibuka lewat penampilan Prasiman yang mencoba memainkan Interlude dari Attack! Attack!. Tetapi sayang, sebagai pembuka seharusnya penonton terlebih dulu diberikan musik rock ringan bukan dengan musik techno yang membuat penonton langsung kebingungan apa mereka salah beli tiket
nonton konser. Ada yang salah atau itu disengaja karena hanya sebagai jingle
pembuka dari festival sebenarnya. Meski secara komposisi sudah bagus, tetapi kekurangan utama adalah pada sound bass yang kurang bergema.
Rocktober sebenarnya dimulai ketika Arterial membawakan lagu dengan petikan akustik ala indiepop di awalnya tetapi berubah drastis ketika masuk ke menu sebenarnya. Sang vokalis wanita bersuara layaknya Lia yang menyanyikan lagu Temari No Uta dipadu dengan lengkingan scream ala Dead by April menghiasi satu lagu Metalcore berjudul What Can I Do. Selanjutnya Nakedupsidedown naik dan membawakan Medler dari August Burn Red dengan aransemennya sendiri. Tembang yang penuh dengan nuansa Metalcore ini mampu dirubah dengan menggunakan drum loops layaknya sebuah breakcore dengan jungle beat yang terkenal itu.
Gungbaster yang hadir setelahnya tidak kalah menarik, karena Unclearly Rock sepertinya bisa dipakai untuk sebagai scoring penutup dari sebuah film
action yang bertema perang atau jika ada The A-Team versi indonesia, rasanya cocok kalau ini bisa dipakai sebagai scoringnya. Penggunan scratch ala nu-metal tidak berlebihan, dan cukup baik untuk Uncrlearly Rock sebagai scoring film.
Gubahan Sleeper dari Saosin mampu dijalankan dengan baik oleh Metalcrot. Bagus sekali, tetapi sayang feel dari Post-Hardcore kurang mengena karena absennya vokalis yang seharusnya ruang kekosongan yang sebenarnya bisa diganti dengan suara lain untuk mengisi kekosongan itu. Yang akhirnya menjadi setipe dengan minus one. Menurut saya ketika mencoba mengcover, rubah saja aransemennya menjadi bentukan baru yang tidak meninggalkan lagu aslinya. Tetapi feel progessive rock masih didapat ketika Sknhd69 mencoba memainkan ulang Learning To Live dari Dream Theater. Karena minus vokal tidak berpengaruh banyak di dalam musik-musik progressive, dan ketika saya mendengarkannya hampir lupa bahwa ini adalah Dream Theater. Tapi sayang menurut saya, sound bass di sini terlalu tebal. Selebihnya tidak masalah.
Selanjutnya Lightspeed menampilkan satu musik industrial Killer Instinct 192, dan ini sangat mengejutkan. Tetapi sayang ketika diri ingin meminta sebuah built up yang bisa mencapai titik trance, dia datang dengan tune monoton yang sebenarnya bisa digarap lagi dengan maksimal. Overcome The Impossible oleh Jasson Prestiliano yang layaknya guitar virtuoso seperti Joe Satriani sebenarnya cukup menarik dari segi nadanya, namun sayang durasi terlalu pendek dan nampak tidak selesai.
RAGADUB yang membawakan lagu dengan semangat punk rock lewat lagu berjudul F.R.I.E.N.D sebenarnya cukup menarik dari segi materi. Namun sayang karena keterbatasan dan diisi suara vokal yang cukup mentah membuatnya kurang
menarik. Tetapi jika ada waktu lebih, mungkin kekurangan ini bisa dipoles menjadi lebih baik lagi. Nah aransemen Devz50 yang mencoba menggubah lagu Kandas dari Evie Tamala menjadi suatu bentuk musik yang berbau progressive rock lumayan bagus. Tetapi justru dengan penggunaan vocaloid yang dipaksa untuk menyanyikan lirik berbahasa Indonesia itu menjadi kesalahan vital ketika lagu ini didengarkan orang yang awam dengan vocaloid yang sangat annoying.
Aceen yang membawakan My Memory membuat saya terpukau akan komposisi musiknya yang terdengar ada inspirasi dari System of A Down, tetapi panning terlalu terpusat di bagian tengah sehingga kurang menyebar dan terkesan seperti sound mono dengan reverb minimalis. Blessed To My Death dibawakan dengan atmosfer yang cukup haunting oleh Sadame. Bertempo lambat dengan gitar mengisi atmosfer lagu serta absurdisme
tingkat akut membawa sebuah karya eksperimental ini patut mendapatkan ekspresi. Sementara ketika bersorak ria di pertengahan Festival Rocktober, Asterixs87 langsung membawa para penikmat musiknya ikut ber-Pesta Di Surga dengan alunan musik khas seorang guitar virtuoso. Tak hayal, semuanya ikut berheadbanging ria mengikuti raungan gitar dan nada dari Asterixs87.
Rehat sejenak dari Festival Rocktober, DJ TypeMARS beraliran trance hadir untuk mengisi kekosongan masa istirahat lewat sebuah lagu beradreanalin tinggi yaitu Emotion Burst. Dan itu sudah sangat cukup membuat penonton ikut bergoyang bersama mengikuti irama lagu yang di mix secara sempurna oleh TypeMARS. Tak lama kemudian Xtreme-FX naik dan membawakan Ad Mortem dengan background vocal yang cukup haunting menjadi satu lagu andalannya untuk membawa pendengar metal gelap ikut headbanging bersama lewat musiknya. Band technocore rupanya menjadi inspirasi dari Askharae untuk memainkan satu lagu metalcore dengan campuran techno ini lewat I Can Say And See, namun sayangnya ketika dimainkan dalam Festival Rock bisu ini lagu tersebut kurang begitu menjiwai.
Meskipun agak mengecewakan, simfoni yang menjadi pembuka dari band The Habanera cukup membuat penonton merasa senang karena cukup epic sebagai pembuka dari lagu symphonic metal berjudul Mayhem (Pemicu Dansa, Pemangsa Sunyi). Dengan durasi yang cukup panjang, tidak merasa bosan juga dengan
tembang yang satu ini karena musiknya terdiri dari tiga bagian. Simfoni dibagian awal sebagai appetizers, menu utama dengan paduan metal, sedangkan simfoni dibagian deseert ditutup dengan cara menggantung yang sama sekali tidak menyenangkan. Sayang sekali, ketika built up yang sudah dibangun ditutup dengan cara yang tidak mengenakan.
Penggunaan vocaloid yang cukup baik dibawakan oleh Asiscav feat Nakedboy dalam sebuah lagu gubahan dari SCANDAL, band wanita asal dari jepang lewat lagu berjudul Pride. Tetapi fade out dibagian akhir membuat saya kurang puas pada klimaks lagunya. Well, Idoyklik feat Megurine Luka yang hadir setelahnya mampu mengobati saya dengan musiknya. Megurine Luka yang tidak lain adalah vocaloid mampu bernyanyi lewat Ghost of Romance meski tidak begitu jelas bahasa apa yang dia gunakan toh saya juga tidak terlalu peduli. Tetapi secara aransemen dan komposisi musik sudah sangat baik menurut telinga saya. Great songs!
Selanjutnya ada tembang blues yang bisa membawa penonton untuk berdansa bersama mengikuti alunan musiknya lewat Black Glasses yang dimainkan gitaris handal yaitu Antony65. Cukup menarik dan sebuah oase yang baik dari sebuah kemonotonan Festival. Sentuhan avant-garde sangat nampak dan jelas pada sebuah gubahan lagu dari Muse yang berjudul Sing For Absolution. TheGreatMeweker membawakannya dengan aransemen yang sempurna, dibuka dengan sentuhan etnik
kecak bali serta dentingan gamelan membahana serta paduan suara membawakan lagu dari Muse membuat tembang ini begitu luar biasa. Dan kalau saya bisa katakan dengan jujur, inilah lagu cover terbaik di Festival Rocktober yang dikerjakan dengan aransemen yang cukup orisinil oleh The GreatMeweker. EPIC !!
Nubie Budel hadir sebagai band penutup dari Festival Rocktober, membawakan sebuah gubahan The Devil Wears Prada bertajuk Big Wiggy Style. Sebuah penutup yang cukup istimewa menurut telinga saya, karena meski minus vokal tapi membuat lagu yang sebenarnya metalcore ini menjelma menjadi Post-Metal dibagian akhir dengan sentuhan tremolo pada gitarnya. Dan jika Nubie Budel mencoba lebih dalam lagi, dia sanggup membuat sebuah sebuah post-metal epic dengan sound sempurna seperti Rossetta, Rusian Circles atau Ghaust.
Yeah, akhirnya festival rocktober telah usai dan satu kekurangan utama adalah db yang terlalu rendah sehingga volume harus maksimal jika mendengarkan
dengan baik seluruh lagu yang ada di dalam kompilasi ini, sehingga ketika mendengarkan lagu lain maka volume harus dikecilkan karena meledak suaranya. Tetapi selain itu, inilah supremasi dari kreasi musik digital dengan kreatifitas tanpa henti dari cara yang sederhana sampai menghasilkan karya yang cukup masterpiece untuk telinga saya. Good One!!
Artist
Various Artist
Album
Rocktober Geng Fruity Loops
Rilis
2011
Genre
Various Genre
Rating
7 | 10
Review Populer
-
Cukup shock juga telinga saya ketika mendengar beberapa 6 single dari Stars and Rabbit . Dimana 3 diantaranya sudah matang, sedang...
-
Hawa tercipta di dunia untuk menemani sang Adam Begitu juga dirimu tercipta tuk temani aku ... Menurut sebagian orang dan termasu...
-
Mendengar A Rocket To The Moon lewat album On Your Side mengingatkan saya akan dentingan musik yang selalu di senandungkan di film-...
-
Nun jauh disana ketika kaum Ogre yang kumuh yang sudah biasa hidup dengan para Troll membuat band bersama. Namun hal yang tidak m...
-
there's a riff will bleed your ears ... and yes ... there will be blood when listen the killer riff ! Muse , jika berbicara...
Kategori
- -acoustic (2)
- -alternative (5)
- -alternative metal (1)
- -alternative rock (4)
- -ambient (3)
- -anti-folk (1)
- -art rock (1)
- -avant-garde (2)
- -breakcore (1)
- -britpop (1)
- -classic rock (1)
- -compilation (1)
- -dance (1)
- -dance-pop (1)
- -dark ambient (1)
- -death metal (1)
- -deathcore (3)
- -doom metal (1)
- -dream pop (2)
- -drone (1)
- -drum n bass (1)
- -dubstep (2)
- -electronic (4)
- -electronic metal (1)
- -electropop (1)
- -emo (1)
- -etheral (1)
- -ethnic fusion (1)
- -experimental (4)
- -female vocalists (1)
- -folk (5)
- -free jazz (1)
- -funk (1)
- -funk rock (1)
- -fusion (1)
- -garage rock (1)
- -gothic (1)
- -gothic metal (1)
- -grunge (1)
- -house (1)
- -indie pop (6)
- -indie rock (4)
- -jazz (1)
- -jpop (3)
- -jrock (3)
- -kpop (4)
- -math rock (2)
- -melodic death metal (1)
- -neo-folk (1)
- -new wave (1)
- -noise (1)
- -noise rock (1)
- -nu metal (1)
- -pop (9)
- -pop ballad (1)
- -pop punk (4)
- -pop rock (6)
- -post-hardcore (2)
- -post-metal (2)
- -post-rock (6)
- -power pop (1)
- -progressive rock (3)
- -progressive trance (2)
- -punk rock (2)
- -ritual (1)
- -rock (1)
- -screamo (1)
- -sludge (2)
- -space rock (1)
- -the wave (1)
- -traditional (1)
- -trance (2)
- -trancecore (1)
- -trip hop (1)
- -uplifting trance (1)
- -world music (1)
- A Rocket To The Moon (1)
- All Angels Gone (1)
- Aly and Fila (1)
- Armin Van Buuren (1)
- Arrington De Dionyso (1)
- Artificial Melodrama (1)
- blink-182 (1)
- Broken Note (1)
- Call Me Nancy (1)
- Chelsea Grin (1)
- Coldplay (1)
- Cory Johnson (1)
- Dance Gavin Dance (1)
- David Guetta (1)
- Dewa (1)
- Do As Infinity (1)
- Emmy The Great (1)
- Freelance Whales (1)
- Gavy NJ (1)
- Ghaust (1)
- Girls' Generation (1)
- Jem (1)
- Jonas Brothers (1)
- KARA (1)
- Korn (1)
- La Dispute (1)
- Lemuria (1)
- Lights (1)
- Lily Chou-Chou (1)
- Lull (1)
- Mansun (1)
- Mineral (1)
- Muse (1)
- Padi (1)
- Phurpa (1)
- Primus (1)
- Red Hot Chili Peppers (1)
- Rose Funeral (1)
- Rosetta (1)
- Rosolina Mar (1)
- SCANDAL (1)
- Skysaw (1)
- Slow Club (1)
- Spider And The Flies (1)
- Stars (1)
- Stars and Rabbit (1)
- Tesla Manaf (1)
- Tesla Manaf feat Mahagotra Ganesha (1)
- The Beach Boys (1)
- The Browning (1)
- The Grace (1)
- the HIATUS (1)
- The Middle East (1)
- Todesboden (1)
- Various Artist (1)
... mendalami sekumpulan bunyi yang tertuang dalam aksara dan kata.
Powered by Blogger.